PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebuah
karya sastra lahir dari latar belakang dan dorongan dasar manusia untuk
mengungkapkan eksistensi dirinya. Karya sastra dipersepsikan sebagai ungkapan
realitas kehidupan dan konteks penyajiannya disusun secara terstruktur,
menarik, serta menggunakan media bahasa berupa teks yang disusun melalui
refleksi pengalaman dan pengetahuan secara potensial memiliki berbagai macam
bentuk representasi kehidupan. Ditinjau dari segi pembacanya, karya sastra
merupakan bayang-bayang realitas yang dapat menghadirkan gambaran dan refleksi
berbagai permasalahan dalam kehidupan.
Di
antara genre utama karya sastra yaitu
puisi, prosa, dan drama, genre prosalah
yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sastra. Hal itu
dikarenakan bahwa prosa salah saru genre sastra
yang paling memiliki sifat sosiologis dan responsif sebab sangat peka terhadap
fluktuasi sosiohistoris.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
fenomena yang terjadi yaitu keistimewaan sebuah prosa, dapat dirumaskan masalah
yaitu,
1. Bagaimana
konsep teori Feminisme?
2. Bagaimana
konsep teori Semiotik?
3. Bagaimana
konsep teori Sastra Bandingan?
4. Bagaimana
konsep teori Sastra Lisan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang dikaji,
tujuan makalah ini yaitu,
- Mengetahui
konsep teori Feminisme
- Mengetahui
konsep teori Semiotik
- Mengetahui
konsep teori Sastra Bandingan
- Mengetahui
konsep teori Sastra Lisan.
BAB
II
ISI
2.1
Teori
Feminisme
A. Kelahiran
Teori feminisme lahir atas dasar
polarisasi antara laki-laki dan perempuan sejak dahulu kala. Pembedaan ini
menyebabkan kaum feminis merasa terpinggirkan. Oleh karena itu mereka ingin
mengaktualisasikan dirinya dengan berbagai aktifitas untuk menunjukan
keberartiaanya dalam kehudupan mansyarakat. Aktiritasnya yang dipelopori
terus-menerus dan menyebar keseluruh pelosok dunia melahirkan gerakan
feminisme. Gerakan feminisme lahir pada abad ke 20 yang dipelopori oleh
Wirginia Wolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own ((Djayanegara,
2000:23); Ratna, 2004 183).
Menurut
A. Teeuw beberapa indikator yang dianggap memicu lahirnya gerakan feminisme di
dunis barat (1) berkembangnya teknik kontrasepsi yang memungkinkan
perempuan-perempuan melepaskan diri dari kekuasaan lelaki, (2) radikalisasi
politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam, (3) lahirnya gerakan
pembebasan ikatan-ikatan tradisional, misalnya ikatan gereja, ikatan kulit
hitam Amerika, ikatan mahasiswa, dan sebagainya, (4) sekularisasi, menurutnya
wibawa agama dalam sgala bidang kehidupan, (5) perkembangan perempuan yang
secara khusus dinikmati perempuan, (6) rekasi terhadap pendekatan sastra yang
mengasingkan karya dari truktur sosial, seperti kritik baru dan strukturalisme,
(7) ketidak puasan terhadap teori dan praktik ideologi Marxis Orthodoks, tidak
terbatas sebagai Marxis Sovyet atau Cina, tetapi Marxis di dunia barat secara
keseluruhan (Ratna, 2004:183).
B.
Pengertian
Kata feminis secara
etimologi berasal dari kata femme
yang berarti perempuan (tunggal) yang berjung untuk memperjuangkan hak-hak kamu
perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. (Selden, dalam Ratna, 2004:184).
Istilah feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat
keperempuanan (Hubies dalam Wulandari.
1991:13). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia feminisme berarti sebagai
gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya anatara kaum wanita dan
pria. Menurut Farha yang di maksud dengan istilah feminisme adalah sebuah
kesadaran akan adanya ketertindasan perempuan baik di lingkup rumah tangga, di
tempat kerja, ataupun ditengah masyarakat dan berdasarkan kesadaran itu
diupayakan perabagai cara untuk mengatasi masalah tersebut (2000:69).
Dalam pengertian yang
paling luas, feminis gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan,
baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya
(Ratna, 2004:184). Arti kritik sastra feminis secara sederhana adalah sebuah
kritik sastra yang memangdang sastra dengan kesadaran khusus dengan adanya
jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan
manusia.
Berdasarkan definisi di atas, Kolodny
mengemukakan beberapa tujuan kritik sastra feminis (1) dengan kritik sastra
feminis kita mampu kita mampu menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruh
karya sastra yang dihasilkan di masa lalu, (2) membantu kita memahami,
menafsirkan, menilaicerita-cerita rekaan penulis perempuan, (3)kritik sastra
feminis menilai penilaian yang telah digunakan untuk menilai karya sastra
(Djayanegaya, 2000:20-26).
C. Ragam
Kritik sastra feminis
muncul dari gerakan-gerakan feminis dalam berbagai bidang kehidupan. Gerakan
feminisme dibagi menjadi:
1)
Feminisme Liberal
Feminis
Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan
secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan
berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap
manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak
secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan
keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan
itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di
dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan
lelaki.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme
Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan
dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut
persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa
tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal
mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas.
Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal
yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya
masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan
individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring
keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
2)
Feminisme Radikal
Trend ini muncul sejak
pertengahan tahun 70-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan
separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi
atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada
tahun 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi.
Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam
sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang
"radikal".
Menurut Suhartono
feminisme radikal dikembangkan dari gerakan-gerakan Kiri Baru (New Left) yang
menyatakan perasaan-perasaan ketersaingan dan ketidakberdayaan pada dasarnya
diciptakan secara politik. Oleh karena itu, cara yang paling baik transformasi
personal melalui aksi-aksi radikal (Aziz, 2007:78). Tuntutan feminisme radikal
menyangkut bagaimana perempuan tereraborasi secara lebih akomodatif bahkan
perempuan menginginkan lebih tinggi derajatnya dari pada laki-laki. Dengan
demikian feminisme liberal mendorong kaumnya lebih dominan dari pada laki-laki.
3)
Feminisme Marxis dan Sosialis
Aliran Marxis memandang
masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber
penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori
Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan
jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi
keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange
dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan
perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang
berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam
masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Kaum
Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap
bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari
interaksi atau hubungan sosial.Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki
kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat
kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
Feminisme sosialis berjuang
untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir
pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti
ide Marx yang
menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis
muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendak mengatakan
bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah
jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik
dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan
gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis
bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran
feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap
patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua
kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di
Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi
dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran
maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran
feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme
dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk
melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
4)
Feminisme Postmodernisme
Ide Posmo - menurut anggapan mereka -
ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara
berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan
pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna
identitas atau struktur sosial.
2.2
Teori
Semiotik
A. Konsep
Ala Pierce
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak
akan bisa lepas dari berbagai tanda, lambang, dan simbol. Untuk mengungkap
persoalan tanda, lambang dan simbol perlu teori semiotik, karena teori semiotik
adalah teori yang memperhatikan tanda, lambang, dan simbol. Lahirnya teori
semiotik dilandasi oleh semantik, logika, retorika, dan hermeneutik (Noth,
2006:11).
Menurut A. Teeuw agar dapat memahami
teks sastra dengan baik perlu memerhatikan kode bahasa, kode sastra, dan kode
budaya (1983). Sebenarnya teori semiotik tidak hanya digunakan untuk meneliti
tentang sastra saja, akan tetapi juga digunakan untuk meneliti bidang
kedokteran, filsafat, linguistic dan lain sebagainya (Noth, dalam Zaimar,
2008:2).
Teori semiotik modern dipelopori oleh
Charles Sanders Peirce. Charles Sanders Peirce adalah ahli logika dari Amerika,
oleh karena itu penelitiannya berkutat pada nalar manusia. Menurut peirce
manusia adalah makhluk tanda. Ia berpikir tidak lepas dari tanda, ia bernalar
melalui tanda. Tanda merupakan alat untuk berpikir, tanda merupakan alat untuk
berhubungan dengan orang lain, bahkan tanda akan memberi makna terhadap apa
yang ditampilkan oleh alam semesta.
Teori
Peirce yang berkaitan dengan semiotik terkenal dengan istilah “segitiga
semiotik” (Zaimar, 2008:4). Dalam segitiga semiotik tersebut, terdapat
representamen, objek, dan interpretan. Representamen adalah unsur tanda yang
mewakili sesuatu. Menurut Peirce representamen objek yang biasanya dirasakan
yang berfungsi sebagai tanda (Noth, 2006:42). Objek merupakan sesuatu yang diwakili tanda,
sedangkan interpretan adalah tanda yang tertera di dalam pikiran si penerima
setelah melihat representamen.
B. Proses
Pembentukan Tanda
Proses pembentukan tanda menurut Pierce
terdapat tiga tipologi, yakni hubungan objek dengan tanda, hubungan
representamen dengan tanda, dan hubungan interpretan dengan tanda (Zaimar,
2008:7). Dalam hubungan objek dengan tanda, proses pembentukan tanda berawal
dari yang paling sederhana hingga yang paling canggih. Pembentukan tanda yang
paling sederhana adalah ikon, kemudian indeks, dan yang paling canggih adalah
simbol.
Ikon merupakan tanda yang bermakna
akibat kemiripan representamen dengan objek yang diwakilinya. Ikon dapat dibagi
menjadi tiga macam, yakni
1.
Ikon topologis adalah ikon yang memiliki
kemiripan bentuk. Misalnya, telur dengan mata, mempunyai kemiripan bentuk yang
bulat.
2.
Ikon diagramatik adalah ikon yang
memiliki kemiripan tahapan. Misalnya, kedudukan seorang militer dapat dilihat
dari tanda pangkat yang terletak di bajunya.
Ikon metaforis adalah ikon yang memiliki
kemiripan sebagian dari sifat objek. Misalnya, bunga dengan gadis mempunyai
kemiripan tentang keindahan, kecantikan, kesegaran, dan sebagainya. (Zaimar,
2008:4)
Indeks adalah tanda yang mempunyai
hubungan dengan eksistensial (Zaimar, 2008:5). Dalam kehidupan sehari-hari
perilaku seseorang merupakan indeks dari sifat-sifatnya. Sebagai misal, belaian
atau kedekatan dapat mengandung makna kecintaan, kesayangan, kerinduan, dan
sebagainya. Asap merupakan indeks adanya api, anak panah sebagai penunjuk jalan
merupakan indeks arah yang dimaksud.
Simbol merupakan tanda yang paling
canggih, karena sudah merupakan perwujudan dari persetujuan masyarakat secara
konvensional (Zaimar, 2880:6). Misalnya, berbagai rambu-rambu lalu lintas
merupakan simbol, tanda laki-laki dan perempuan di toilet juga merupakan
simbol, dan lain sebagainya.
Dalam hubungannya represantamen dengan
tanda terdapat tiga klasifikasi tanda, yakni
1.
Qualisign
adalah
sesuatu yang mempunyai kualitas untuk menjadi tanda. Qualisign ini belum dapar
berfungsi sebagai tanda sebelum terbentuk sebagai tanda. Misalnya, kain putih
mempunyai kualitas untuk menjadi tanda kematian.
2.
Sinsign
adalah
sesuatu yang sudah terbentuk menjadi represantamen tetapi belum berfungsi
sebagai tanda. Misalnya, kain putih yang sudah dibentuk menjadi bendera. Tetapi,
bendera itu belum dipasang di depan rumah yang keluarganya ada yang meninggal
dunia.
3.
Legisign
adalah
sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan masyarakat dapat disebut legisign.
Misalnya, kain putih yang sudah menjadi bendera dan disepakati oleh masyarakatnya.
(Zaimar, 2008:6)
Dalam hubungan interpretan dengan tanda
terdapat tiga klasifikasi tanda, yakni
1)
Rheme
adalah segala sesuatu yang dianggap sebagai tanda, tetapi tidak dapat
dinyatakan benar atau salah. Kebenaran dan kesalahan tanda tersebut sangat tergantung
konvensi masyarakatnya.
2)
Discent
adalah
sebuah tanda yang mempunyai keberadaan yang aktual. Misalnya, sebuah proposisi
memberikan informasi, tetapi tidak menjelaskan. Discent ini bisa benar juga
bisa salah, tetapi tidak memberikan alasan.
3)
Argument
adalah
sesuatu yang sudah menjadi tanda. Tanda itu sudah menunjukkan adanya
perkembangan dari sebuah premis ke kesimpulan. Oleh karena itu, tanda tersebut
sudah mengarah pada kebenaran. Kalau discent hanya menyatakan kehadiran objek,
sedangkan argument membuktikan kebenarannya.
C. Konsep
Ala Saussure
Ahli semiotik lain adalah ferdinand de
Saussure. Ia adalah seorang linguis dari swiss. Penelitian Saussure berfokus
pada bahasa. Dengan berbagai penelitian yang memokuskan pada bahasa, akhirnya
ia dijadikan sebagai pelopor pembaharuan dalam bidang linguistik. Karena
perannnya dalam bidang linguistik begitu besar, maka ia disebut sebagai bapak
linguistik modern. Menurut Saussure, bahasa merupakan sistem tanda yang paling
lengkap.
Dalam
penelitiannya, Saussure menemukan tiga istilah yang berkaitan dengan tanda
bahasa. Istilah tersebut adalah bahasa (sign), penanda (signifier), dan petanda
(signified). Menurut Sauusure setiap tanda bahasa terdiri atas dua sisi, yakni
sisi penanda yang berupa imaji bunyi, dan petanda yang berupa konsep. Misalnya,
tanda bahasa “kursi” akan menimbulkan imaji bunyi “k u r s i” dan sekaligus
memunculkan kosep kursi (gambar kursi).
2.3
Teori
Sastra Bandingan
A. Hakikat
Teori
sastra bandingan merupakan teori sastra yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan
yang pesat. Sejak adanya mastera, yakni masyarakat sastra yang terdiri atas
Indonesia, Malaysia, Brunnei Darussalam. Teori sastra bandingan sering
digunakan untuk mengkaji sastra negara-negara tersebut sebagai bahan yang
diperbandingkan. Maka dapat dikatakan bahwa sastra bandingan merupakan studi
yang membandingkan dua karya sastra atau lebih dengan memerhatikan syarat dan
unsur-unsur yang dibandingkan.
B. Cara
Kerja
Dalam membandingkan karya sastra, perlu
memperhatikan wilayah dan objek yang dapat diperbandingkan. Oleh karena itu,
studi sastra bandingan hendaknya memerhatikan konsep-konsep di bawah ini.
1)
Studi sastra bandingan dapat
membadingkan dua karya sastra atau lebih dari dua negara yang benar-benar
berbeda bahasanya.
2)
Studi sastra bandingan dapat
membandingkan dua karya sastra atau lebih dari dua negara yang bahasanya sama,
baik sama keseluruhannya atau dialeknya berbeda.
3)
Studi sastra bandingan dapat
membandingkan karya sastra dari pengarang yang asalnya sama. Artinya, pengarang
yang satu sudah pindah ke negara lain. Misalnya ada dua orang pengarang yang
satu asal Indonesia, tetapi pengarang yang satunya sudah pindah ke negara
Brunnei Darussalam.
4)
Studi sastra bandingan dapat
membandingkan karya seorang pengarang yang ditulis di tempat asalnya dengan
karya yang ditulis dalam negara yang ditempati. Maksudnya, pengarang tersebut
sudah mengarang ketika berada di tempat asalnya dan tetap mengarang setelah
pindah menjadi warga negara lain.
5)
Studi sastra bandingan dapat
membandingkan karya seorang pengarang yang sudah menjadi warga negara tertentu
dengan karya sastra negara lain. Negara lain yang dimaksud adalah bukan negara
asal pengarang tersebut.
6)
Studi sastra bandingan dapat
membandingkan karya seorang pengarang
dalam satu negara, tetapi bahasa yang digunakan dalam karyanya berbeda. Di sini
studi sastra bandingan dapat membandingkan karya pengarang Indonesia yang
berbahasa daerah dengan karya berbahasa Indonesia. Misalnya, pengkaji dapat
membandingkan karya Ajip Rosidi yang berbahasa Sunda dengan karya Ajip Rosidi
yang berbahasa Indonesia.
7)
Studi sastra bandingan dapat
membandingkan karya seorang pengarang dalam satu negara, tetapi pengarang itu
menulis dalam bahasa asing yang berbeda.
8)
Studi sastra bandingan dapat
membandingkan karya seorang pengarang asing dengan karya dari negara yang
ditempatinya
2.4
Teori
Sastra Lisan
A. Hakikat
Tradisi Lisan
Dilihat dari bentuknya karya sastra
dapat dibagi menjadi sastra tulis dan sastra lisan. Keberadaan sastra lisan
semakin tidak eksis karena tergusur oleh dominannya kebudayaan modern. Istilah
tradisi lisan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris oral tradition.
Pengertian istilah ini hampir sama dengan foklore, namun bendanya terdapat pada
unsur-unsur ditrsnmisi (Hutomo, 1991:10). Istilah tradisi lisan menurut UNESCO adalah
tradisi yang ditranmisi dalam waktu dan ruang dengan ujaran dan tindakan,
dengan begitu tradisi lisan mencakup, (1) yang berupa kesusastraan lisan, (2)
yang berupa teknologi tradisisonal, (3) yang berupa pengetahuan folk di luar
pisat-pusat istana dan kotametropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur religi dan
kepercayaan folk di luar batas norma agama-agama besar, (5) yang berupa
kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (6) yang berupa
hukum adat (Hutomo, 191:11).
Sastra lisan mempunyai ciri yang berbeda
dengan sastra tulis yaitu,
1. penyebarannya
melalui mulut ke mulut;
2. lahir
di dalam masyarakat yang masih bercorak desa;
3. menggambarkan
ciri-ciri budaya masyarakat setempat, sebab sastra lisan merupakan warisan
budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru
(sesuai perubahan sosial). Oleh karena itu sastra lisan disebut juga fosil
hidup;
4. tidak
diketahui siapa pengarangnya, oleh sebab itu hasil karya tersebut menjadi milik
masyarakat;
5. bercorak
puitis, teratur, dan berulang-ulang; maksudnya untuk menjaga keaslian teks
tersebut;
6. tidak
mementingkan fakta, tetapi lebih menekankan pada aspek khayal yang tidak
diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra lisan mempunyai fungsi penting
di dalam masyarakat;
7. terdiri
atas berbagai versi;
8. bahasa
yang digunakan adalah bahasa lisan sehari-hari dan terkadang diucapkan tidak
lengkap.
B. Cara
Fungsi
Menurut William R. Bascom (dalam
Sudikan, 2001:109) sastra lisan mempunyai empat fungsi yakni (1) sebagai sebuah
bentuk hiburan (as a form of entertainment), (2) sebagai alat
pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat
pendidikan anak, (4) sebagai alat pemaksa dan pengawasagar norma-norma
masyarakat agar selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Menurut Alan Dandes fungsi sastra lisan
meliputi (1) membantu mendidik anak muda, (2) meningkatkan perasaan solidaritas
suatu kelompok, (3) memberi sanksi sosial agar orang berperilaku baik atau
memberi hukuma, (4) sebagai sarana kritik sosial, (5) memberi suatu pelarian yang
menyenangkan dari kenyataan, (6) mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi
permainan.
BAB III
PENUTUP
Teori
Feminisme
·
Gerakan feminisme lahir pada abad ke 20
yang di pelopori oleh Wirginia Wolf dalam Bukunya yanbg berjudul A Romm of One’s Own ((Djayanegara,
2000:23); Ratna, 2004:183)).
·
Pemicunya,
1. Berkembangnya
teknik kontrasespsi yang kemungkinan perempuan melepaskan diri dari laki-laki.
2. Radikalisasi
politik
3. Lahirnya
gerakan pembebasanikatan tradisional
4. Sekuralisasi
5. Perkembangan
perempuan yang secara khusus dinikmati perempuan
6. Reaksi
terhadap pendekatan sastra
7. Ketidak
puasan terhadap teori dan praktik ideologi yang baru.
·
Kritik sastra feminis secara sederhana
adalah sebuah kritik sastra yang memangdang sastra dengan kesadaran khusus
dengan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan
kehidupan manusia.
·
Ragam
1. Feminisme
Liberal à aliran yang
menekankan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalita dan pemisahan
antara dua privat dan publik.
Ä Feminisme
liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahawa mereka adalah golongan
tertindas. Dan dari situlah Naomi Wolf mempelopori pergerakan feminisme
liberal.
2. Feminisme
Radikal à aliran yang
muncul sebegai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis
kelamin.
Ä Pemahaman
penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta feminnisme radikal
ada.
3. Feminisme
Marxis dan Sosialis à
Aliran Marxis memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme.
Asusimnya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara
produksi.
Ä Feminisme
sosial muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis.
Ä Feminisme
sosial berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan tanpa memandang gender.
4. Feminisme
Postmodernisme à
Postmoderen menggali persoalan alienasi perempuan seksual, psikologis, dan
sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai sebuah system. Aliran yang
berpendapat bahwa gender tidak berkmakna identitas atau sruktur sosial.
Teori
Semiotik
·
Semiotik adalah ilmu yang mempelajari
tentang tanda-tanda, sistem tanda, dan proses suatu tanda.
·
Proses pembentukan tanda menurut Pierce
menyebutkan tiga macam tanda sesuai dengan jenis hubungan anatara tanda dan apa
yang ditandakan.
Ä Ikon,
yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Misalnya,
foto dengan orang yang difoto, atau pera dengan wilayah geografisnya.
Ä Indeks,
yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakan.
Misalnya asap menandakan adanya api, mendung menandakan bakal turun hujan.
Ä Simbol
atau tanda, yaitu suatu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang
ditandakan bersifat arbitrer, manasuka, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan
sosial tertentu. Misalnya bahasa.
·
Saussure menyebutkan bahasa adalah
sistem tanda, dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak
terpisahkan satu dengan lainnya yakni,
Ä Penanda
adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu.
Ä petanda
adalah aspek makna atau konseptual dari suatu penanda.
Teori
Sastra Bandingan
·
Teori sastra bandingan sering digunakan
untuk mengkaji sastra negara-negara tersebut sebagai bahan yang
diperbandingkan.
·
Konsep- konsep dalam membandinngkan
karya sastra yakni.
Ä Studi
sastra bandingan dapat membadingkan dua karya sastra atau lebih dari tiap
negara yang berbeda bahasanya.
Ä Studi
sastra bandingan dapat membandingkan dua karya sastra atau lebih dari dua
negara yang bahasanya sama, baik sama keseluruhannya atau dialeknya berbeda.
Ä Studi
sastra bandingan dapat membandingkan karya sastra dari pengarang yang asalnya
sama.
Ä Studi
sastra bandingan dapat membandingkan karya seorang pengarang yang ditulis di
tempat asalnya dengan karya yang ditulis dalam negara yang ditempati.
Ä Studi
sastra bandingan dapat membandingkan karya seorang pengarang yang sudah menjadi
warga negara tertentu dengan karya sastra negara lain.
Ä Studi
sastra bandingan dapat membandingkan karya seorang pengarang dalam satu negara, tetapi bahasa
yang digunakan dalam karyanya berbeda.
Ä Studi
sastra bandingan dapat membandingkan karya seorang pengarang dalam satu negara,
tetapi pengarang itu menulis dalam bahasa asing yang berbeda.
Ä Studi
sastra bandingan dapat membandingkan karya seorang pengarang asing dengan karya
dari negara yang ditempatinya
Teori
Sastra Lisan
Dilihat dari bentuknya karya sastra
dapat dibagi menjadi sastra tulis dan sastra lisan. Keberadaan sastra lisan
semakin tidak eksis karena tergusur oleh dominannya kebudayaan modern. Istilah
tradisi lisan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris oral tradition.
Pengertian istilah ini hampir sama dengan foklore, namun bendanya terdapat pada
unsur-unsur ditrsnmisi (Hutomo, 1991:10). Istilah tradisi lisan menurut UNESCO
adalah tradisi yang ditranmisi dalam waktu dan ruang dengan ujaran dan
tindakan, dengan begitu tradisi lisan mencakup, (1) yang berupa kesusastraan
lisan, (2) yang berupa teknologi tradisisonal, (3) yang berupa pengetahuan folk
di luar pisat-pusat istana dan kotametropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur
religi dan kepercayaan folk di luar batas norma agama-agama besar, (5) yang
berupa kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (6) yang
berupa hukum adat (Hutomo, 191:11).
DAFTAR PUSTAKA
_____________._______. Feminisme. http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme.
(diakses pada tanggal 11 Maret 2012)
Aminuddin. 2010. Pengantar Paresiasi
Karya Sastra. Malang: Sinar Baru Algesindo.
Kasnadi., Sutejo. 2010. Kajian
Prosa. Yogyakarta: Pustaka Felicha.
Pramonno, Bagus.______. Feminisme. http://sabda.org/artikel/feminisme.
(diakses pada tanggal 11 Maaret 2012)
Savita, Oriza, 2008. Formalisme
Rusia, formalisme
Rusia, Fenomena Eidos Feminisme Dan Pendekatan Psikoanalisa (I. Prasastie).
(diakses pada tanggal 11 Maaret 2012)
Siswanto Whyudi. 2008. Pengantar
Teori Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
0 komentar:
Posting Komentar