BAB II
ISI
2.1
Kajian Puisi Berbasis
New Criticism
New criticism merupakan
aliran kritik sastra di Amerika Serikat yang berkembang antara tahun 1920-1960.
Istilah new criticism pertama kali dikemukakan oleh John Crowe Ransom dalam
bukunya The New Criticism (1940) dan ditopang oleh I.A. Richard dan T.S. Eliot.
Sejak Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren menerbitkan buku Understanding
Poetry (1938), model kritik sastra ini mendapat perhatian yang luas di kalangan
akademisi dan pelajar Amerika selama dua dekade. Penulis new criticism lainnya
yang penting adalah: Allen Tate, R.P. Blackmur, dan William K. Wimsatt, Jr.
(Abrams, 1981: 109-110).
Aliran ini muncul
sebagai reaksi terhadap kritik sastra sebelumnya yang terlalu fokus pada
aspek-aspek kehidupan dan psikologi pengarang serta sejarah sastra. Para new
criticism menuduh ilmu dan teknologi menghilangkan nilai perikemanusiaan dari
masyarakat dan menjadikannya berat sebelah. Manurut mereka, ilmu tidak memadai
dalam mencerminkan kehidupan manusia. Sastra dan terutama puisi merupakan suatu
jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan lewat pengalaman. Tugas kritik sastra
adalah memperlihatkan dan memelihara pengetahuan yang khas, unik dan lengkap
seperti yang ditawarkan kepada kita oleh sastra agung (Van Luxemburg dkk, 1988:
52-54).
Sekalipun para new
criticism tidak selalu kompak, mereka sepakat dalam memandang karya sastra
sebagai sebuah kesatuan organik yang telah selesai, sebuah gejala estetik yang
telah melepaskan kondisi subjektifnya pada saat karya itu diselesaikan. Hanya
dengan menganalisis susunan dan organisasi sebuah karya sastra, dapat
diperlihatkan inti karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya. Menurut T.S.
Eliot, sebuah puisi pertama-tama adalah puisi, bukan sesuatu yang lain, suatu
objek yang otonom dan lengkap.
Para new criticism
menganggap berbagai model kritik yang berorientasi kepada aspek-aspek di luar
karya sastra sebagai suatu kesalahan besar. Orientasi kepada maksud pengarang
disebut sebagai suatu penalaran yang sesat. Makna sebuah puisi juga jangan
dikacaukan dengan kesan yang diperoleh pembaca karena kita dapat terjerumus
dalam struktur sintaksis dan semantiknya. Untuk mengetahui arti itu kita harus
mempergunakan pengetahuan kita mengenai bahasa dan sastra. Sejauh hidup
pengarangnya dapat dipergunakan sejauh dapat menerangkan makna kata-kata khusus
yang dipergunakan dalam karyanya. Selain itu, pemahaman terhadap konteks
penggunaan bahasa sangat ditekankan.
Menurut mereka,
komponen dasar karya sastra, baik lirik, naratif, maupun dramatik adalah
kata-kata, citraan/imagi, dan simbol-simbol, bukan watak, pemikiran ataupun
plot. Elemen-elemen linguistik ini sudah diorganisasikan di seputar sebuah tema
sentral dan mengandung tensi atau maksud, ironi dan paradoks dalam strukturnya
yang merupakan muara pertemuan berbagai impuls dan kekuatan yang berlawanan.
Kendati pemikir dan
praktisi new criticism banyak, dan diantara mereka pasti ada silang pendapat,
pada hakikatnya cara kerja mereka sama, yaitu,
1)
Close
reading, yakni mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetailkalau perlu
baris demi baris, kata demi kata, dan kalau perlu sampai ke akarakar katanya.
Tanpa close reading, bagian-bagian kecil puisi mungkin akan terlepas dari
pengamatan, padahal, semua bagian, sekecil apa pun, akan merupakan bagian yang
tidak munkin dipisahkan dari puisi yang wellwrought. Begitu sebuah detail puisi
ditemukan tidak mempunyai makna dan tidak mempunyai fungsi, maka mutu estetika
puisi ini tidak mungkin dijamin
2)
Empiris,
yakni penekanan analisis, ada observasi, bukan pada teori. Tokoh-tokoh new
criticism memang pernah menyatakan bahwa new criticism adalah sebuah teori
satra, namun karena new criticism mempunyai cara kerja sistematis sebagiamana
halnya para teori-teori satra lain, maka new criticism mau tidak mau diakui
sebagai sebuah teori sastra. Dalam sejarah teori dan kritik sastra, new
criticism selalu menempati urutan pertama.
3)
Otonimi
·
Karya
satra adalah sesuatu yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak bergantung pada unsur-unsur lain, termasuk kepada
penyair/penulisnya sendiri
·
Kajian
satra adalah sebuah kajian yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak tergantung pada kajian-kajian lain,
seperti sejarah, filsafat, biografi, psikologi, dan sebagainya.
Otonomi merupakan ciri khas mutlak
kajian intrinsik. Kendati teori-teori berikut tidak tertutup kemungkinan untuk
mempertimbangkan unsur ekstrinsik karya sastra, setiap kajian tidak mungkin
lepas dari nilai-nilai intrinsik karya sastra itu sendiri. Karena itulah, new
criticism tetap hidup, masuk ke berbagai teori lain, kendati secara resmi sudah
tutup buku pada tahun 1960-an.
Salah satu pengaruh new criticism pada
teori sastra dapat dilihat misalnya pada formalisme rusia dan strukturalisme.
Kedua teori ini mengambil gagasan otonomi new criticism kendati salah satu ciri
penting strukturalisme adalah kajian-kajian ekstrinsiknya. Meskipun demikian, dapat diperkirakan dengan tepat bahwa tanpa
rintisan new criticism maka formalisme rusia dan strukturalisme akan lahir
terlambat, dan mungkin pula akan berbeda dengan formalisme rusia dan
struktualisme sekarang.
4)
Concreteness.
Apabila karya sastra dibaca, maka karya satra menjadi concrete atau hidup.
Dalam sajak penyair romantik jhon keats, ode to melancholy, misalnya, baris then
glut thy sorrow on a morning terasa benar-benar hidup. Kata glut menimbulkan
kesan kerakusan yang benar-benar concrete. Sebagaimana halnya konsep otonomi,
maka concreteness new criticism juga diambil oleh formalisme Rusia dan
strukturalisme.
5)
Bentuk
(form), titik berat kajian new criticism adalah bentuk (form) karya sastra,
yaitu keberhasilan penyair atau penulis dalam diksi (pemilihan kata), imagenary
(metaphor, simile, onomatopea, dan sebagainya), paradoks, ironi, dan
sebagainya. Bagi new criticism, bentuk karya sastra menentukan isi karya
sastra. Karena bentuk memegang peran penting, maka titik berat perhaitan new
criticism adalah konotasi, bukan denotasi. Makna denotatif kursi, misalnya,
adalah kursi, sedangkan makna konotatifnya mungkin kedudukan atau kekuasaan.
Kata-kata rebutan kursi, misalnya, mungkin mempunyai makna rebutan atau
kekuasaan, dan sama sekali bukan rebutan tempat duduk. Konotasi,dengan demikian, memberi uang kepada
metafora, simbol, dan lainlain di luar makna harfiah sebuah kata, rangkaian
kata, atau kalimat. Kata glut, dengan makna denotatif rakus, dapat mempunyai
makna lain sesuai dengan konteksnya dalam rangkaian kata atau kalimat tertentu.
Puisi, memang, tidak lain adalah sebuah dunia metafora.
Titik berat kajian new
criticism pada bentuk (form) akhirnya juga dipergunakan oleh formalisme rusia
dan strukturalisme. Istilah form mengacu pada bentuk, dan bentukkarya sastra
itu pulalah yang menjadi salah satu titik penting formalisme yang pertama tidak
lain adalah new criticism kendati new criticism tidak menamakan diri dengan
istilah form. Struktur dalam strukturalisme juga tidak dapat memisahkan diri
dari makna form, salah satu titik berat strukturalisme.
6)
Diksi
(pilihan kata)
Pilihan kata atau diksi
dalam kajian kritik sastra baru memegang peranan yang penting. Bentuk-bentuk
konotatif merupakan perhatian kajian ini, bukan bentuk denotatif. Sebagai
missal, kata “bunga” secara denotatif mengandung makna bagian tumbuhan yang
akan menjadi buah. Akan tetapi secara konotatif mengandung makna seorang gadis,
keindahan, dan sebagainya. Kata kursi, bagi teori sastra baru bukan sekedar
tempat duduk, tetapi mengacu kepada jabatan, kekuasaan, otoritas, dan
sebagainya.
Wafat, mangkat,
meninggal, mati pada hakikatnya mempunyai makna sama, namun mana kata yang akan
dipilih oleh penyair/penulis bergantung dari penyair/penulisnya sendiri.
7)
Tone
(nada), yakni sikap penyair, penulis, narator, atau aku lirik terhadap (a) diri
sendiri, (b) diri sendiri terhadap objek atau bahan pembicaraan, dan (c) diri
sendiri terhadap lawan bicaranya. Kalimat apakah benarayah saudara kemarin
meninggal? Menunjukkan bahwa pambicaranya tidak menanggap dirinya lebih tinggi
daripada yang diajak bicara dan ayah yang diajak bicara. Kalau kalimat ini
diganti menjadi apa betul ayahmu kemarin mampus? Akan tampak bahwa pembicara
merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding yang diajak bicara dan ayah yang
diajak bicara.
8)
Metafor,
yakni pembandingan satu objek dengan objek lain tanpa penggunaan kata-kata
seperti, bagaikan, dan hal-hal semacamnya.
9)
Simile
merupakan perbandingan antara objek satu dengan objek yang lain selalu
menggunakan kata-kata: seperti, laksana, bagaikan, dan kata-kata yang sejenis.
10)
Onomatopea
adalah peniruan bunyi terhadap bunyi-bunyilain. Misalnya, tik tak tik tak
terdengar bunyi rintik hujan
11)
Paradoks:
lawan atau kebalikan sesuatu, antara lain dapat dipergunakan untuk menyindir.
Kalau seseorang naik taksi dan taksinya berjalan terlalu cepat, si penumpang
dapat berkata kepada sopir: alangkah baiknya apabila lebih cepat lagi, dengan
maksud kurangilah laju taksi. Di sini juga tampak bahwa konotasi lebih penting
daripada denotasi. Kadang-kadang paradoks juga tampak seperti moto kendati
maknanya mungkin bukan sekadar moto, seperti yang tampak dalam puisi John Donne
“Kanonisasi”: dia yang akan menyelamatkan jiwanya, harus kehilangan jiwanya
terlebih dahulu dan yanf terakhir akan menjadi yang pertama.
12)
Ironi
merupakan pernyataan yang mempunyai makna berlawanan dengan makna sebenarnya.
Macam ironi terdirin atas,
·
Ironi
verbal, ironi dramatik, dan ironi situasi. Ironi verbal adalah ironi yang
menggunakan kata-kata tertentu untuk menyampaikan makna yang sebenarnya.
Misalnya, Anda adalah gadis yang sangat cantik, padahal maksudnya gadis itu
tidak cantik.
·
Ironi
dramatik adalah penyampaian makna yang dimaksud pembicaratidak diketahui oleh
tokoh, tetapi diketahui oleh pembaca atau penonton. Misalnya, dalam sebuah film
ada seorang tokoh yang mengejar lawannya, ketika lawannya berbelok tokoh itu
terus mengejar ke depan, karena mengiri lawannya lari ke depan.
·
Ironi
situasi adalah ironi yang menyatakan ironi yang menyatakan kebalikannya dari
harapan. Misalnya, seorang pelajar ketika ujian merasa sangat mudah menjawab
pertanyaan, dengan demikian ia mempunyai harapan dan keyakinan lulus dengan
mudah, tetapi setelah ujian diumumkan pelajar tersebut tidak lulus.
2.2 Kajian
Puisi Berbasis Sosiologis-Sufistik
Realitas sosial dalam
pandaan sosiologi sastra merupakan sebab lahirnya sebuah karya sastra (puisi). Ignas
Kleden (dalam Sutejo,2009:89) berpandangan bahwa hubungan kausalitas itu
sedemikian kuatnya sehingga teks sastra tidak lain adalah refleksi
(superstruktur) dari struktur sosial dimana seorang pengarang menghasilkan
karyanya. George Lukack (dalam Sutejo, 2009:89) mengungkapkan bahwa fungsi
reflrk-imaji karya sastra dapat berperan sebagai pantulan kembali dari situasi
masyarakatnya., baik sebagai salinana tau kopian dari struktur sosial.
Sufistik adalah sifat
dari kata “sufi”. Sufi menunjuk pada orang yang menjalankan suatu latihan
kerohanian di dalam agama Islam yang dengan metode tertentu bertujuan mendekati
dan memahami Allah. Sufi adalah salah satu sisi penerapan ajaran Islam yang di
dalamnya terkandung suatu tingkah laku yang khas yang digali dan dikembangkan
dari ajaran-ajaran Islam. Keseluruhan gerakan kerohanian tersebut disebut
tasawuf.
Dunia sufi sering
dipandang sebagai dunia yang ganjil luar biasa. Di dalamnya tergambar
ajaran-ajaran, peristiwa-peristiwa dan tingkah laku yang nyaris selalu pelik
dan tidak masuk akal. Cerita-cerita di lingkungan para sufi merupakan cerita
yang penuh makna simbolis, didaktis, sekaligus ajaib. Sebagai contoh adalah
kisah sufi besar Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani yang dipercaya dapat bertarung
dan mengalahkan setan serta dapat menjaga pintu neraka untuk menyelamatkan
pengikutpengikutnya (Sudardi, 2003:
1-2).
2.3 Kajian
Puisi Berbasis Semiotik
Manusia adalah mahkluk
yang berada dalam teks-teks. Di milis, kita berjumpa dengan teks. Di
perkuliahan kita berjumpa dengan teks. Di lingkup agama kita berjumpa dengan
teks. Dan masih banyak lagi peristiwa, tempat, waktu di mana kita berjumpa
dengan teks. Maka dari itu, terdapat banyak cara untuk memahami teks tersebut.
Dua di antaranya yang akan saya bahas dalam tulisan ini adalah Hermeneutika dan
Semiotika. Apa itu hermeneutika dan semiotika? Kita lihat sekilas dulu sebelum
masuk pada pembahasan lebih detil.
Semiotik atau
semiology, adalah studi tentang tanda, baik tanda yang tampil individu atau
dalam suatu kelompok sistem tanda. Meliputi pula studi bagaimana memaknakan
tanda dan memahaminya. Seorang semiotis kerapkali bahkan juga menguji bagaimana
organisme, baik besar kecil, membuat prediksi mengenainya dan mengadaptasinya
pada ceruk-ceruk penjelasan semiotik yang begitu beragam di dunia ini. Dalam
semiotika, tanda kerapkali dirujukkan pada teks. Sejak pertama kali dikonsepkan
secara utuh oleh Ferdinand de Saussure, semiotika banyak berkutat dengan teks.
Hermeneutik, adalah
teknik filosofis yang memberi perhatian pada interpretasi dan pemahaman teks.
Hermeneutik juga kerap dijabarkan sebagai teori interpretasi dan pemahaman
sebuah teks dengan berbasis teks itu sendiri. Seorang hermeneutis yang
menginterpretasi suatu teks, dia bisa melakukan secara informal, bisa pula
melakukan dengan menghubungkan dengan teori interpretasi tertentu.
Konsep “teks” di sini
tak terbatas pada sesuatu yang tertulis, tapi meliputi pula ujaran, penampilan,
karya seni, dan bahkan peristiwa. Di sini sebenarnya bisa pula dikatakan
interpretasi “teks sosial”. Bahkan simbol-simbol pun, sebenarnya merupakan
teks. Termasuk simbol-simbol dalam mimpi seseorang
Ada dua tokoh penting
dalam semiotika, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Meski
semiotika sendiri sebenarnya sudah ada sejak masa sebelum mereka, tapi keduanya
dianggap sebagai peletak dasar konsep semiotika. Selanjutnya sejumlah semiotisian,
mengembangkan metode analisis tanda ini berdasar apa yang telah diletakkan oleh
Saussure dan Pierce.
Saussure mengemukakan
dua konsep dalam semiotika, yaitu penanda dan petanda. Keduanya,
mengarakterisasi “tanda”. Jadi, dalam setiap “tanda” ada unsur “penanda” dan
“petanda”. Penanda adalah konsep akustik atau suara. Sedangkan petanda adalah
konsep mental. Misalnya: konsep mental mengenai mahkluk dengan ciri: berkaki
empat, berbulu, setia, banyak dipelihara di rumah, kalau kencing kakinya
diangkat satu, dianggap najis oleh agama tertentu; konsep mental itu menyatu
dengan konsep akustik “anjing”. Jadi ada sebuah tanda yang menyatukan antara
konsep akustik “anjing” dan konsep mental mahkluk tertentu.
Saussure menjelaskan
bahwa hubungan antara penanda dan petanda ini bersifat arbitrer, manasuka, atau
bahasa jawanya “Sak karepe”. Lho? Iya. Coba saja lihat. Untuk konsep mental
yang sama, orang Inggris menyebut “Dog”, orang Jawa “Asu”, itupun masih ada
bahasa yang lebih halus yang menyebut “Segawon”. Di daerah tertentu disebut
juga “guk-guk”. Filosofi arbiter ini, tak pelak memengaruhi sejumlah pemikiran
yang kelak muncul sesudah Saussure, seperti Derrida, Barthes, Baudrillard, dll.
Pierce, sedikit berbeda dengan Saussure. Ia mendefinisikan semiotik sebagai
"...action, or influence, which is,
or involves, a cooperation of three subjects, such as a sign, its object, and
its interpretant, this tri-relative influence not being in any way resolvable
into actions between pairs."
Jadi, jika Saussure
menjelaskan dalam tanda ada unsur penanda dan petanda, Pierce justru melihat
ada tiga hal penting dalam semiotika yang bisa dijelaskan melalui Tanda, objek,
dan interpretan. Tanda, mirip dengan apa yang dijelaskan Saussure dengan
penanda. Jadi kata “anjing” adalah tanda. Objek adalah anjingnya itu sendiri,
yang hidup dan berlari dan bisa menggigit dsb. Sedangkan interpretan mirip
dengan konsep mental yang dijelaskan oleh Saussure.
Dalam penjelasan
mengenai hermenutik, saya menghadirkan contoh mimpi yang ditafsir secara hermeneutis.
Pada penjelasan mengenai semiotik ini, saya juga akan menghadirkan contoh
mengenai mimpi. Bagaimana mimpi ditafsirsecara semiotis? Jika secara
hermeneutis, saya menghadirkan Freud, maka secara semiotis saya menghadirkan
Carl G. Jung. Ini bisa jadi juga banyak yang tak setuju, mengingat dalam
perkembangan semiotis, justru Freud yang lebih berperan, terutama pada
tokoh-tokoh seperti Jacques Lacan, Julia Kristeva, Luce Irigaray, Jacques
Derrida, dll. Tapi saya punya argumen. Jung lebih semiotis pada teorinya,
ketimbang Freud, karena Jung mempertimbangkan sinkronisitas.
Mimpi dalam kajian
Jung, dilihat maknanya berdasarkan sinkronisitasnya dengan arketipe. Setiap
mimpi, memuat arche atau bentuk anterior yang mendahului “Ada”. Arche ini
adalah sesuatu yang tak terjelaskan, namun ia hadir membawa pesan yang bisa
dikoding “hanya” oleh si penerima pesan “dengan memperhatikan pula” keterkaitan
pesan itu dengan pesan lain yang muncul. Misalnya, Jung pernah menemukan
seorang perempuan di Barat yang bermimpi persis dengan salah satu cerita
mitologi di Cina, padahal si perempuan sama sekali belum pernah mengetahui
cerita tersebut. Inilah archetype. Arche yang muncul dalam tipe atau bentuk
khusus. Makna atau pesan yang ada dalam mimpi anak perempuan itu, memiliki
keterkaitan dengan mite di Cina.
Nah, sinkronisitas
inilah yang sejalan dengan “hukum” sinkronik dan diakronik dari semiotik.
Sebuah tafsir semiotik, selalu disejajarkan dengan kehadiran sesuatu yang lain
dalam sebuah sistem. Saya akan gambarkan sebagai berikut: Saat kita makan
malam, pada saat bersamaan hadir piring, garpu, sendok, meja makan, mungkin
pisau, mungkin lilin, dan berbagai pernik lain. Satu sama lain ini berhubungan
jadi ketika kita menafsir sendok dalam konteks makan malam, ia bukan sesuatu
yang terlepas dari pernik lain. Inilah sinkronik. Begitu pula ketika “proses”
makan malam itu telah terjadi, masing-masing pernik ini “berjalan”. Lilin
terbakar habis. Piring terisi, lalu kosong. Garpu, sendok, pisau menjalankan
fungsinya. Nah, dalam “proses” ini, yang satu berhubungan dengan yang lain,
inilah diakronik.
Perhatikan taktik
pemindahan antara penanda dan petanda (jika kita memakai konsep Saussurean),
antara tanda, objek, dan interpretan (jika kita memakai konsep Piercean), serta
sinkronisitas dan diakronisitas di dalamnya. Ini adalah permainan semiotis.
Buah adalah simbol atau penanda atau tanda. Kita bisa meletakkan secara
arbitrer dengan “konsep mental” mengenai relasi seorang perempuan dan
kekasihnya.
Sama seperti orang Jawa
melekatkan secara arbitrer “segawon” dengan konsep mental mahkluk tertentu,
yang orang Inggris justru melekatkan “dog”, di situ kita lihat walau arbitrer,
tapi bukan berarti sepenuhnya tidak berhubungan. Ada sesuatu yang dalam
semiotika disebut dengan strukturalisme. Nah, inilah yang dipraktekkan Vincent.
Dia melekatkan pula secara arbiter antara “Timun” dan “relasi A dan B”. Apakah
sepenuhnya tidak berhubungan? Pada kenyataannya terdapat suatu seperti
strukturalisme yang terjadi pada “segawon”, “dog”, “anjing”, “asu” dsb. itu.
Inilah
sebuah permainan yang saya istilahkan dualitas dua hal berlawanan. Derrida
menjelaskan ini melalui differance dan dekonstruksi. Tao menjelaskan dalam
konsep: Kosong adalah berisi, berisi adalah kosong. Apa artinya semua itu?
Bahwa dalam kekaburan, terdapat kejelasan. Dalam kekosongan terdapat pula
keberisian. Dalam ketaktahuan terdapat pula pengetahuan. Dan seterusnya. Jadi
tak ada mata uang yang terdiri dari satu sisi. Kenapa kita tak mampu memahami
itu semua? Karena cara berpikir kita terjebak dalam bahasa. Dalam bahasa,
berisi tak mungkin kosong, begitu pula sebaliknya. Permainan kecil Vincent itu
sebenarnya adalah sebuah permainan yang mengajak untuk melampaui bahasa.
Kenapa? Tujuannya adalah melampaui “keterbatasan pikiran” yang terbiasakan oleh
bahasa.
2.4 Kajian Puisi
Berbasis Sosiologis
Jika masyarakat
dipandang sebagai “model” karya sastra, pembahasan masyarakat yang merupakan
kajian sosiologi dalam sosiologi sastra menjadi penting. Fenomena masyarakat
merupakan kajian sosiologi. Pitirin Sorokin dalam Soekanto (1987: 15-16)
menjelaskan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari bermacam-macam
perilaku manuisia dalam organisasi masyarakat.
Objek sosiologi adalah
masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan manusia di dalam masyarakat tersebut.
Pengertian masyarakat menurut Mac Iver dan Page dalam Soekanto (1987:20) adalah
suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kejasam antara
berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta
kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang berubah itu disebut masyarakat.
Masyarakat sebagai subsistem
kehidupan yang memiliki keunikan, konflik, serta benturan-benturan antar
individu adalah hal menarik untuk ditulis oleh seorang pengarang. Tidak
berlebihan memang, kemudian muncul anggapan bahwa sastra merupakan “cermin”
masyarakat.
Meski demikian,
pengarang sesungguhnya tidak menerima begitu saja bahan masyarakat untuk
dijadikan teks karya sastra. Pengarang memiliki kepekaan dalam memilih bahan.
Pengarang berhak mengemukakan pandangan pribadinya. Pandangan pribadi pengarang
dalam karyanya itu pun tidak terlepas dari konteks masyarakat.
Selain
itu, dalam memahami sastra dikenal banyak pendekatan yang digunakan dan
dianataranya adalah pendekatan sosiologis. Hakikat dalam menggunakan suatu
pendekatan adalah bagaimana “cara mendekati”, “cara memandang”, semacam juga
“cara meletakkan fokus”. H.B. Jassin, misalnya, sering memanfaatkan pendekatan
biografis untuk menuliskan kritiknya. Daniel Dakidae pernah memanfaatkan
pendekatan sosiologis untuk menilai kekokohan Para Priyayi karaya Umar Kayam.
Dengan demikian, beragam pendekatan itu seperti pisau alternatif untuk mendedah
sebuah teks sastra dalam menemukan nilai ekstetis tertentu.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Beberapa dasar untuk mengkaji karya
sastra berbentuk puisi, digunakan untuk membedah secara mendalam sebuah puisi.
Beberapa dasar pengakajian berupa,
a)
Kajian
puisi berbasis New Criticisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa ilmu dan
teknologi menghilangkan nilai prikemanusiaan dari masyarakat dan menjadikan
berat sebelah.
Cara kerja New
Criticisme, yaitu:
·
Close
reading, yakni mencermati karya sastra
dengan teliti dan mendetailkalau perlu baris demi baris, kata demi kata, dan
kalau perlu sampai ke akarakar katanya.
·
Empiris,
yakni penekanan analisis, ada observasi, bukan pada teori.
·
Otonomi,
mengarakan jika karya satra adalah sesuatu yang mandiri dan berdiri sendiri,
tidak bergantung pada unsur-unsur lain,
termasuk kepada penyair/penulisnya sendiri
·
Concreteness.
Apabila karya sastra dibaca, maka karya satra menjadi concrete atau hidup.
·
Bentuk
(form), yaitu keberhasilan penyair atau penulis dalam diksi (pemilihan kata),
imagenary (metaphor, simile, onomatopea, dan sebagainya), paradoks, ironi, dan
sebagainya.
·
Diksi
(pilihan kata)
·
Tone
(nada), yakni sikap penyair, penulis, narator, atau aku lirik terhadap (a) diri
sendiri, (b) diri sendiri terhadap objek atau bahan pembicaraan, dan (c) diri
sendiri terhadap lawan bicaranya.
·
Metafor,
yakni pembandingan satu objek dengan objek lain tanpa penggunaan kata-kata
seperti, bagaikan, dan hal-hal semacamnya.
·
Simile
merupakan perbandingan antara objek satu dengan objek yang lain selalu
menggunakan kata-kata: seperti, laksana, bagaikan, dan kata-kata yang sejenis.
·
Onomatopea
adalah peniruan bunyi terhadap bunyi-bunyilain.
·
Paradoks:
lawan atau kebalikan sesuatu, antara lain dapat dipergunakan untuk menyindir.
·
Ironi
merupakan pernyataan yang mempunyai makna berlawanan dengan makna sebenarnya.
b)
Kajian
puisi berbasis Sosiologi. Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah
dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang menyinggung hubungan antara sastra
dan masyarakat sebagai cermin. Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil
bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang. Sastra juga dibentuk oleh
masyarakatnya, karena sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam
masyarakatnya. Sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra
dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya.
c)
Kajian
puisi berbasis Sosiologis-Sufistik, yaitu Aliran yang dipengaruhi oleh corak
kehidupan agama penyair, dan corak kehidupan ini memiliki hubungan yang besar
terhadap kepribadian pembaca.
d)
Kajian
puisi berbasis Semiotik, yaitu Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang
tanda-tanda, sistem tanda, dan proses suatu tanda. Beberapa ahli semiotik dalam
sastra yaitu,
·
Pierce
menyebutkan tiga macam tanda sesuai dengan jenis hubungan anatara tanda dan apa
yang ditandakan.
1.
Ikon,
yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk.
Misalnya, foto dengan orang yang difoto, atau pera dengan wilayah geografisnya.
2.
Indeks,
yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakan.
Misalnya asap menandakan adanya api, mendung menandakan bakal turun hujan.
3.
Simbol
atau tanda, yaitu suatu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang
ditandakan bersifat arbitrer, manasuka, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan
sosial tertentu. Misalnya bahasa.
·
Saussure
menyebutkan bahasa adalah sistem tanda, dan tanda merupakan kesatuan antara dua
aspek yang tak terpisahkan satu dengan lainnya yakni,
1.
Penanda
adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu.
2.
petanda
adalah aspek makna atau konseptual dari suatu penanda.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin.
2010. Pengantar Paresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru Algesindo.
Kasnadi., Sutejo. 2010. Kajian Prosa.
Yogyakarta: Pustaka Felicha.
Sariban. 2009. Teori dan penerapan penelitian sastra. Surabaya: Lentera Cendikia
Siswanto Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra.
Jakarta: PT. Gramedia.