Panggil Aku AyAM
Tak ada pembicaraan satu
katapun. Hanya langkah
kaki yang menggiringi perjalanan kami. Lamunanku masih berselancar pada
panggilan
itu. Hampir dekat dengan ruangan yang
kami tuju, lelaki berambut putih itu pun berkata, “Kok diam? Kamu kan memang seperti
itu.”, ucapnya menyadarkanku. Tak ada kalimat yang menggantung di otakku untuk
memprotes semua. Gambaran wajah pasrah pun terlihat di wajahku. “Apa salahnya sih kata itu? Atau hewannya
sekalipun?”, teganya.
· · ·
Udara begitu panas. Pendingin ruangan seperti tak
berkompeten dengan pekerjaannya. Di ruangan ini, ku putar kursi kerja yang ku
duduki menunggu bapak separu baya menyiapkan perperlengkapannya. “Tolong ambilkan tertas itu, Yam.”, ucap lelaki
jangkung yang duduk di depan komputer belakangku. Dari
gelagartnya terlihat jelas ada keingin tuk mencetak file-file yang menempel di bola matanya.
Hembusan nafas beras keluar dari alat pernafasanku, teringat panggilannya
padaku, dalam hati ingin berteriak. Kenapa aku harus dipanggil seperti itu?
Kakiku melangkah ke tempat kertas yang ia tunjuk.
Masih dalam angan tentang panggilan itu. Serupakah aku
dengan makhluk itu? Ataukah makhluk itu yang menyerupaiku? Batin selalu
berteriak ketika mereka memanggilku seperti itu. Langkahkuku pun mendekati
lelaki itu setelah kertas sudah ditangan. “Ini mas.”, ucapku sambil menaruh
kertas ke dalam printer. “Eh mas, kenapa sih aku harus di panggil seperti
itu?”, protesku. “Kok rasanya gimanaaa
gitu.”, lanjut protesku.
Kulihat senyum lebar tergambar di wajah hitamnya.
Lesung pipi sebelah kirinya terbentuk begitu saja. Alasan serupa pun terdengar
lagi di telingaku, “Sudah, itu panggilan khusus dari kami”. “Panggilan itu
sesuai denganmu, jadi jangan protes!”, lanjutnya. Senyum kemenangan terpancar
dari wajahnya. Dan terlihat pula lelaki paru baya juga ikut merasakan
kemenangan dengan penjelasan dari Mas Mamat.
Ku sandarkan badanku di kursi kembali. Ruangngan yang hanya berisi
enam meja kerja menjadi saksi lahirnya nama itu untukku. Otakku masih berfikir
mencari alasan untuk protes kembali. Kulihat setiap pojok ruangang, barang kali
ada kalimat yang menempel di dinding. “Sudahlah”, ujar lelaki paru baya yang
duduk di keja di pojok kananku. Ujaran Pak Budi membuayarkan semuanya, “Kamu
itu memang ayam, protes seperti apapun kamu tetap ayam.”. Terlihat senyum
kebahagian tergambar kembali. Mas Mamat yang sedang fokus mencetak file-filenya
pun tertawa dengan lepas.
Lelaki paru baya itu berusaha menenangkan ku dari
senyumannya. Tapi apalah arti senyuman, karena yang ku butuhkan adalah
penjelasan. Wajah kesal pun ku tampakkan. Tak dapat lagi ku bendung. Badanku
sudah lagi tak bersandar. Ku tegakkan badan dalam dudukku. “Sudahlah Pak,
rasanya tidak enak. Bapak dan mas Mamad memanggil saya ayam. Dan tempat kita ada di kampus.”, jelasku. “Jika yang
lain dengan pasti mengganngap saya ayam kampus.”, analisis protesku. Yang ku
tangkap selalu senyum lebar dari setiap protesku. “Yasudahlah pak ayo ke
kelas.”, ujarku mengalihkan pembicaran.
· · ·
Wajahku pun ku tekuk ke bawah. Sekalipun mulutku
berprotes, aku pun hanya bisa memberi alasan itu-itu saja. Hatiku benar-benar
pasrah menerima panggilan itu. “Kami memanggil ayam karena ada alasannya,”
jelasnya. Dalam angan, apapun alasannya tetap saja itu bukan namaku. Seakan ia
tau teriakan batinku, “AyAM itu kan dari nama lengkapmu. Jadi tak haru marah
kan?”. Seperti dijatuhi durian runtuh, pikirnku pun langsung menganalisis nama
lengkapku dengan ayam.
Protes yang sama terlempar
untuk kesekian kalinya dari mulutku. Tak ada kalimat yang selesai dari
protesku, namun lelaki itu langsung memotongnya. “Biarkan orang lain yang
menilai, yang penting kamu tak seperti itu.”, ucapnya mengakhiri obrolan kami.
Seiring dengan langkah kaki kami memasuki kelas, pikiranku langsung menemukan
alasan oanggilan itu. Ku lepaskan segala makna yang menempel dari kata itu.
Karena itulah namaku, AyAM (red: Ayu Amaliyah Mardhotillah).
1 komentar:
iyaaterima kasih. :)
Posting Komentar